"Jika engkau bukan anak raja dan bukan anak seorang ulama, maka jadilah seorang penulis" - Al Ghazali

Sabtu, 30 September 2017

Pemberantasan Korupsi dan Pentingnya Dukungan Publik

Tertanggal 29 September 2017 lalu, Setya Novanto atau yang sering dipanggil "Papah", salah satu tersangka kasus korupsi megaproyek E-KTP, memenangkan sidang putusan Praperadilan di PN Jakarta Selatan. 

Saya kebetulan menyempatkan hadir dan menyaksikan langsung sidang tersebut. Namun, tak banyak yang bisa saya perbuat. Hanya menggerutu, marah, heran sekaligus geram atas putusan hakim Cepi Iskandar yang memimpin jalannya sidang. Di tengah-tengah penjagaan ketat aparat keamanan, ditambah banyaknya para jurnalis dari media massa yang hadir, semakin memanaskan ruang sidang Oemar Seno Adji di Pengadilan Negeri Jaksel yang penuh sesak saat itu.

Apa yang saya bisa lakukan setelahnya?, 
menangis? tentu bodoh sekali rasanya. Apalagi cuma menyinyir sana-sini yang tiada arti. Mari, sudahi pertikaian guna menuju suatu cita besar kita: berantas kasus-kasus korupsi di Indonesia.

Kembali ke topik bahasan, Pemberantasan Korupsi dan Pentingnya Dukungan PublikSaya teringat sebuah pesan yang tidak asing di telinga saya, entah siapa yang pernah mengucapkannya, kurang lebih seperti ini;
"Memberantas tikus berdasi tak semudah memberantas tikus di ladang, apalagi jika sendirian. Maka kita harus menggalang kekuatan bersama untuk bisa memberantasnya".
Ilustrasi mural oleh: Komunitas Cicak (Cinta Indonesia Cinta Anti Korupsi)

Korupsi: Budaya yang Mengakar

Sudah sering terdengar pejabat-pejabat negara yang tersandung kasus korupsi. Mulai yang bermain angka dengan proyekannya, tukar guling, suap menyuap, sampai dengan cuci kaki uang. Tak terkira berapa banyak macam bentuk korupsi yang ada di dunia, pun dengan terma-terma yang berbeda memahami apa itu korupsi. Saya tidak ingin berlarut membahas arti "corruptio" dan kawanannya. Satu hal yang tidak boleh berubah: Korupsi tetaplah korupsi, ia kejahatan. Sekecil apapun.

Berbicara mengenai korupsi, saya berani jamin bahwa kita tidak ada yang pernah luput dari motif korup, atau dalam konteks yang lebih jelasnya adalah pada masa kini. Setidak-tidaknya kita pernah melakukan praktik curang dan menyalahi kelaziman. Itulah salah satu bentuk korup kita, maka tak jarang orang kemudian kerap mencari aman dengan diksi pengganti semacamnya. Kalau lah opini saya mengada-ada, saya kira tidak perlu berlelah diri menuliskannya.

Lantas, apa yang menjadikan korupsi seksi untuk diperbincangkan?
Jawabannya terletak pada siapa yang memainkan peranan tersebut. Perbedaan yang mencoloknya tentu dari posisi yang dimiliki oleh si pelaku. Semakin strategis dan besar nama yang diemban, semakin banyak pula publik membicarakannya. Di sini kita bisa menemukan relevansi pepatah: "semakin tinggi pohon, semakin kencang angin yang berhembus". Tentu, dalam konteks yang berbeda dari biasanya, ibaratkan posisi tinggi yang dimiliki koruptor ialah pohonan tinggi, dan pohonan itu diterpa angin kencang (badai) hingga goyah, atau bahkan tumbang. Saat itu lah pemberitaan besarnya tersebar.

Fantasi Kepentingan

Setiap tindakan adalah konsekuensi dari sebuah kepentingan. Secara gamblang, kita bisa mengidentifikasi kasus-kasus korupsi yang ada sebagai buah dari koruptor yang tengah gelap mata oleh bermacam kepentingan. Dari motif korupsi yang ada, selalu bermuara pada motif ekonomi dan politik—atau notabenenya kepentingan pribadi maupun kelompok.

Sebetulnya, kedua hal ini tidak begitu berbeda, motif ekonomi cenderung dipengaruhi adanya kepentingan untuk mencapai kemakmuran dari penguasaan faktor produksi dan finansial. Sebaliknya, motif kepentingan juga bisa membuat celah terbukanya jalan keputusan yang membuat pihak tertentu diuntungkan. Jika melihat kasus-kasus korupsi belakangan ini, banyak yang bermain adalah para politisi dan rekanan kerja yang sama-sama memiliki kepentingan. Di sisi yang berlainan, masyarakat hanya menjadi penonton dari aksi tersebut. Bisa jadi, masyarakat tidak mengetahui sama sekali.

Inilah pekerjaan kita, sebagai masyarakat. Tidak ada lagi yang dapat menghentikan praktik korup dari para koruptor kelas berat di negeri ini kecuali kekuatan dari publik (kita sendiri).

Pemberantasan Korupsi di Indonesia

Di Indonesia, ada lembaga yang dibentuk sejak tahun 2002 untuk menangani secara khusus kasus korupsi, yakni Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Kinerjanya sejauh ini cukup memuaskan publik, terhitung lebih dari Rp. 1,3 triliun uang hasil korupsi ditindak oleh KPK. Meskipun nada sumir sering terdengar karena baru sekitar 730 miliar rupiah yang berhasil KPK kembalikan kepada negara, namun kita tak boleh lupa, pencegahan juga sangat penting dan berdampak dalam menyelamatkan keuangan negara.

Dari data yang dipublikasikan KPK (kpk.go.id), diestimasikan sekitar Rp. 270 triliun uang negara telah berhasil diselamatkan dari potensi korupsi. Masalahnya memang tak sekadar besaran uang, namun pada efektivitas kerja dari lembaga anti korupsi ini dalam menggagalkan upaya korupsi. Wacana belakangan, santer terdengar rencana dari DPR untuk merevisi UU KPK melalui Revisi Undang-Undang No. 30 tahun 2002, tentang Komisi Pemberantasan Korupsi. Hal ini mengindikasikan adanya upaya pelemahan terhadap lembaga antirasuah ini. Meski sering kali, DPR berkilah adanya revisi justru untuk mengawasi kinerja KPK dan menguatkan upaya pemberantasan korupsi di Indonesia.

Pentingnya Dukungan Publik

Kita ketahui bersama, KPK bukan lembaga yang sempurna. Banyak kasus yang mandek hingga kini seperti; BLBI, Century, RS Sumber Waras, Reklamasi Teluk Jakarta, dan lain sebagainya. Namun, ketidaksempurnaan ini tak perlu dibahas berlarut-larut. Keterbatasan penyidik, alat bukti dan sumber daya penunjang lainnya menjadi penting untuk mengusut kasus-kasus yang ada. Dugaan semata atau intrik politis tidak banyak membantu penyelesaian masalah, karena semua dilakukan due process of law. 

Bila melihat kinerja KPK dari aspek kelembagaan, Laporan Keuangan KPK selalu memiliki Opini Wajar Tanpa Pengecualian (WTP). Demikian juga dengan Laporan Akuntabilitas Kinerja Instansi pemerintah (LAKIP), selama enam tahun sejak tahun 2010, KPK memperoleh Nilai A. Sebuah capaian yang baik dan tentunya patut diapresiasi. Selain itu, lembaga ini meraih penghargaan peringkat pertama Keterbukaan Informasi Badan Publik Tahun 2016 kategori Lembaga Non Struktural (LNS) dari Komisi Informasi Pusat (KIP). Tentunya, capaian yang baik ini tidak diraih begitu saja, sudah panjang perjalanan KPK hingga bisa mendapat predikat tersebut. Ini yang saya kira bisa dijadikan pegangan bagi publik untuk tetap bisa mempercayai, serta memberi dukungan pada KPK.

Mari berikan waktu pada semua pihak untuk bekerja secara maksimal, setidaknya publik juga dapat ikut serta mengawal. Tidak ada salahnya bila mendukung dan mendorong lembaga anti korupsi yang tetap konsisten setidaknya sampai dengan detik ini. Ingat pula bahwa public power masih sangat dibutuhkan untuk bisa menolong negeri ini dari upaya pendelegitimasian lembaga dan pihak-pihak yang anti terhadap korupsi.

Kita mesti banyak belajar, agar tidak melulu terkungkung pada perbincangan yang tiada habis. Semua berperan dan bertanggungjawab atas cita bersama: pemberantasan kasus-kasus korupsi secara tuntas di Indonesia. Semoga bukan mimpi di siang bolong.

Mahasiswa dan segenap rakyat, bersatulah!
___________________________________
Muhammad Yazid Ulwan,
Kepala Departemen Kajian dan Aksi Strategis
BEM Fakultas Ilmu Administrasi UI 2017

Sumber:
1). Mural Komunitas Cicak (Cinta Indonesia Cinta Anti Korupsi), "Berantas Tikus!" https://image.slidesharecdn.com/muralpresentationedit-111221101357-phpapp02/95/mural-14-728.jpg?cb=1324462868
2). Anggaran KPK dan Uang yang Diselamatkan, http://nasional.republika.co.id/berita/nasional/hukum/17/06/22/orxzcm-anggaran-kpk-lebih-besar-dari-uang-yang-diselamatkan
3). KPK Selamatkan Uang Negara, https://www.kpk.go.id/id/berita-sub/2641-kpk-selamatkan-uang-negara-rp-270-t
Share:

Selasa, 22 Agustus 2017

Sebat(as) Maskulinitas: Sebuah Opini terhadap Sebatang Rokok dan Penikmatnya

Satu batang itu diberi nama "hisap kenikmatan" bagi mereka yang mengonsumsinya. Entah saya harus memulai dari mana. Yang jelas, saya akan menceritakannya dari perspektif pribadi.
Ilustrasi "sebat": akronim sebatang
Ya, rokok sudah menjadi barang yang tidak asing lagi ditengah masyarakat Indonesia. Penjualannya yang begitu massif, iklan dan film-film yang kian hegemonik dan kinerja korporat yang ekspansif membuat rokok agaknya menjadi komoditi yang sudah lazim ditemui oleh publik saat ini. Tak ayal, konsumsinya pun selalu meningkat tiap tahun. Mulai tua sampai muda (mirisnya lagi anak-anak), sudah mengenal dan juga mengonsumsi makanan produk yang satu ini.

Bayangkan, sejak era pra-kemerdekaan saja sudah berdiri industri rumahan pengrajin rokok. Baik itu kretek buatan tangan, maupun semi-mesin. Bahkan, ada yang masih bertahan sampai saat ini ini dan menjadi korporat besar. 

Sebut saja HM Sampoerna yang didirikan tahun 1930 bernama (NVBM Handel Maatschapij Sampoerna) dengan merek tertuanya Dji Sam Soe yang ternyata sudah dibuat lebih dulu pada tahun 1913. Atau Bentoel Group yang merintis perusahaan rokok dengan nama (Strootjesfabrieks Ong Hok Liong), sebagaimana pendiri perusahaan yang bernama Hok Liong. Meski baru berkembang pasca Indonesia merdeka, nyatanya rokok sudah menjadi kawan lama—meski sebahagian tidak mengonsumsinya karena alasan kesehatan—bagi masyarakat Indonesia.

Kini, industri-industri rokok sudah semakin mapan. Peralatan yang canggih, perusahaan berlabel blue chip corporate dengan kapitalisasi pasar (market cap) yang besar, bermacam varian produk, serta beragam segmentasi, semakin meramaikan geliat penjualan produk rokok di Indonesia.

Dari sisi bisnis dan ekonomi, rokok mungkin boleh saja dibanggakan. Betapa tidak, penerimaan negara dari pajak cukup besar disumbangkan olehnya berupa cukai rokok (10%). Tapi mesti diingat, arti cukai disini ialah besaran tarif yang dikenakan bagi segala produk yang dinilai menghasilkan eksternalitas negatif—rokok, minuman beralkohol, plastik—sehingga perlu adanya pengendalian dari pemerintah dalam peredarannya. Wacana terbaru, kenaikan cukai rokok dalam beberapa waktu kedepan nampaknya sedikit mempengaruhi harga produk yang satu ini. Markitung.. mari kita hitunggu.

Saya tidak akan berlama-lama membahas rokok dari sisi kesehatan, bisnis atau rokok sebagai komoditas jual-beli. Satu hal yang mengganjal dalam benak saya—dan entah sudah beberapa kali kerap dicap sebagai 'si cemen', 'banci', atau 'si cupu' oleh perokok. 

Mereka seringkali menyinyir sekaligus bertanya. S
elain cuma menanggapi dengan jawaban, tentunya saya punya pertanyaan lain:

"Apakah rokok membuat pengonsumsinya terlihat maskulin?"

Terlalu naif bila saya menyangkal pertanyaan yang saya lontarkan sendiri. Tentu, jawabannya akan sangat beragam. Bagi Ia yang menganggap rokok secara simbolik merepresentasikan aura "kegagahan" dibandingkan mereka yang tidak memakai, ada alasan tersendiri. Salah satunya, karena merokok bukan suatu tindakan yang secara moral value diaminkan masyarakat umum. Maka, diperlukan keberanian dari seorang perokok untuk melakukannya. Kemudian, datang penilaian dari masyarakat bahwa merokok berarti memberanikan diri. Entah benar atau tidak, penilaian subyektif saya toh demikian.

Lain simbolik, lain juga dengan etik. Dilihat dari budaya "ketimuran" kita berkata bahwa rokok memang sangat identik dengan pria. Tetapi, tidak menutup kemungkinan seorang wanita bisa saja merokok, bahkan sudah banyak dijumpai di tengah kita, mungkin yang hilir mudik di lingkungan kampus akan sedikit memahami.

Jika seorang wanita merokok, khususnya seorang gadis, yang terlintas dalam pikiran awam terlebih dalam tradisi ketimuran kita ialah sebuah stereotype negatif pada wanita itu. Namun, lain halnya rokok dan pria. Mereka terkesan identik. Dimana ada rokok, berarti rokok tersebut adalah milik pria (dilihat dari etik ketimuran), tetapi mesti diingat: tidak semua pria adalah perokok.

"Rokok adalah sebuah lambang maskulinitas", kata seorang perokok. Pernyataan inilah yang mungkin banyak menjerat remaja jatuh menjadi pecandu rokok diawal masa perkembangannya. Akhirnya? ada dua pilihan. Terus berlanjut, atau berhenti (saya yakin jarang terjadi). Karena, pengakuan mereka yang sudah terbiasa merokok akan sangat sulit untuk meninggalkannya. Butuh usaha lebih dan kebulatan tekad untuk meninggalkan kebiasaan yang sudah layaknya candu. Benar saja ada kelakar: "mangan ora mangan, sing penting udud" (makan gak makan, yang penting ngudud/ ngerokok). Bah!

Jika menggunakan sekadarnya dan si pemakai orang yang tahu diri, jelas akan menjadi hal yang berbeda. 

Representasi maskulinitas dari merokok bisa kita jumpai dalam iklannya. Seperti digambarkan menggunakan tanda dan bahasa yang tidak lepas dari budaya patriarkal. Bila laki-laki muncul dalam iklan, penokohannya digambarkan pemberani, agresif, jantan, mandiri, kuat, berkuasa, dan pintar.

Konsep maskulinitas selalu digambarkan dengan tubuh berotot, dan tubuh berotot adalah tubuh yang paling ideal untuk menggambarkan “kelaki-lakian”. Maskulin sebagian besar hanya diukur dari unsur sensualitas dan dapat diartikan bahwa maskulin sebagai sebuah barang yang sangat bermanfaat dan dipergunakan produsen dengan memberikan janji-janji dan solusi bahwa maskulinitas bagi laki-laki bisa didapatkan dari produk yang mereka tawarkan.

Dalam sebuah kajian kontemporer sebuah komunitas mahasiswa, saya mengutip artikel dari kawan-kawan Deadpo*l UI yang ternyata punya data dan argumen cukup menarik. Mengacu pada data Riset Kesehatan 2013 yang dikeluarkan oleh Kementrian Kesehatan Indonesia, di Indonesia jumlah perokok laki-laki mencapai 56.860.457 sedangkan jumlah perokok perempuan hanya mencapai 1.890.135. Dominasi tersebut menghasilkan legitimasi, salah satunya dalam bentuk stigma negatif terhadap perempuan yang merokok (meski saya juga kurang setuju akan keduanya). Di dalam suatu masyarakat yang dipengaruhi oleh budaya patriarki stigma negatif perempuan yang merokok kerap kali muncul dan terlegitimasi oleh dominasi perokok yang mayoritas adalah laki-laki.



Selain pembangunan wacana antara gender dan rokok, hal yang cukup memprihatinkan juga bagi bangsa ini daripada sekadar persoalan pria maupun wanita sebagai perokoknya adalah ihwal usia si perokok itu sendiri. Di sebagian besar negara, tingkat perokok 'muda' (kurang dari 18 tahun) cenderung mengalami penurunan antara kurun 2013-2016. Sementara, tingkat perokok 'muda' di Indonesia, justru meningkat dari 7,2% menjadi 8,8% -Data riset dan kesehatan dasar RI.

Di antara anak usia 10-14 tahun, lebih dari 3% adalah perokok pada kurun 2013 sampai 2016 (mayoritas laki-laki), dan lebih dari 18% anak laki-laki serta 9% anak perempuan usia 10-14 tahun tersebut pernah mencobasecara pasif maupun aktifuntuk merokok.
Persentase perokok usia muda di Indonesia



Anak 'lanang' usia 13-15 tahun sudah mencoba produk-produk tembakau.


Dengan demikian, karena pola yang dibentuk oleh agen atas signifikansi rokok dibangun atas citra maskulinitas, salah satunya adalah legitimasi terhadap stigma negatif perempuan yang merokok, praktik sosial tersebut kemudian menghasilkan struktur yaitu rokok membuat seseorang terkesan lebih maskulin. Hal ini kemudian dapat menjadi motivasi seseorang untuk merokok, bahkan pola-pola itu sudah terbentuk sejak usia mudakendati ia mengetahui bahaya dari merokok namun hal itu tertutup oleh hegemoni praktik sosial tersebut.



Karena "Nggak ada loe, nggak rame", brader!


Sudahlah kawan, bila merokok adalah sebuah pilihan, biarkan mereka yang tidak merokok untuk memilih juga. Apakah Ia akan tetap percaya pada apa yang diyakini (not just in religious way), ataupun tidak. Semua kembali kepada diri masing-masing. Berikan ruang bagi semua untuk saling tahu diri, dan yang terpenting bagaimana juga bisa menempatkan etik diri di tengah masyarakat.

Kita berbicara sebuah produk yang punya implikasi besar terhadap beberapa sektor. Baik ekonomi, kesehatan, sosial, atau bahkan politik(?). Ah iya, jangan lupa ada W.S Rendra, Chairil Anwar dan Pram dengan Sastra nya. Mereka perokok, tapi karyanya banyak. Atau lebih lagi perdebatan ulama tentang si batang yang satu ini. Sudah seringkali menimbulkan kehebohan.

Terlepas dari semua itu, toh nasi kita masih sama-sama putih. :)

If u want to discuss about this, I'm so glad and very welcome, bor. Edankeun!



Salam Super,

Muhammad Yazid Ulwan
- Mahasiswa "Suka Pertentang-tentungan"

=============================
Referensi: 

[1]. Haryanto, Ibnu Dwi (2014) Representasi Kuasa Maskulinitas Dalam Iklan Rokok Djarum Super (Studi Semiotika Representasi Kuasa Maskulinitas Dalam Iklan Rokok Djarum Super My Life My Advanture)
[2].www.medium.com/@deadpoolui/rokok-sebagai-sebagai-signifikansi-maskulinitas-dalam-legitimasi-masyarakat-patriarkal-dalam-e23077d8c13
[3].www.psychologymania.com/2012/02/rokok-dan-maskulinitas-seorang-pria.html
[4].www.kaskus.co.id/thread/5617ca25e0522798748b4576/sejarah-rokok-kretek-di-indonesia/
[5].www.edition.cnn.com/2017/08/30/health/chain-smoking-children-tobacco-indonesia/index.html

Dan sumber-sumber lain dengan olahan penulis.
Share:

Selasa, 18 Juli 2017

Dialektika, Politika dan "Kencur" Retorika

Tumbuh kembangnya sistem Demokrasi di Indonesia ditandai dengan semakin banyaknya parpol yang meramaikan jagat perpolitikan nasional. Berbicara tentang parpol, tentu tak terlepas dari tangan-tangan politisi nya. Ada dari mereka yang masih "bau kencur", ada yang hidup segan mati tak mau, ada pula yang sudah melanglang buana dan menelan pil pahit hingga berkali-kali.

Dikatakan ada yang "bau kencur" karena dianggap masih terlalu muda atau tak mengerti apa-apa dibandingkan Ia yang telah merasakan pahit getirnya demokrasi bangsa. Kalau kata Fahri Hamzah: "selamat datang di lembah yang sunyi.." ah, beras kencur!

Ilustrasi kencur..

Akhir-akhir ini tengah ramai diperbincangkan perdebatan antara wakil ketua DPR, Fahri Hamzah dengan politisi PSI, Tsamara Amany. Kejadian ini bermula dengan munculnya video yang berisi tanggapan terhadap angket KPK. Keduanya mempresentasikan antara pendukung Panitia Khusus Hak Angket Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan yang menolaknya; atau antara pihak yang tidak mempercayai KPK dan yang mempercayainya.

Mengapa di pihak Fahri tak semata dari pihak oposisi? Hal ini membuktikan bahwa dukungan partai kepada pemerintah sejatinya bukan karena kesamaan visi, misi, apalagi ideologi. Tapi lebih karena adanya kepentingan yang ingin dicapai, baik sebagian atau keseluruhan.

Mari lihat perdebatan ini dalam konteks yang lebih sistemik, yakni dalam kerangka dialektika politik di Indonesia.

Dialektika, dalam makna yang sederhana, merupakan proses komunikasi dua arah (dalam bentuk perdebatan atau yang lain) untuk melahirkan arah baru yang lebih baik. Dalam perspektif Hegelian, dua hal yang dipertentangkan–antara tesis dan antitesis– untuk melahirkan sintesis dan terus berproses menuju kesempurnaan.

Meski kesempurnaan itu tidak akan tercapai, setidaknya dialektika bisa dijadikan sarana menuju “eksistensi” yang lebih baik.


Dalam perspektif politik, negara merupakan sintesis antara keluarga (tesis) dan masyarakat warga (antitesis). Untuk melahirkan negara yang terus berproses menuju kebaikan dibutuhkan proses dialektika di antara tiga cabang kekuasaan negara (eksekutif, legislatif, dan yudikatif) yang merupakan perwujudan dari kedaulatan rakyat (keluarga dan masyarakat warga).

Di negara yang sistem demokrasinya sudah mapan, proses dialektika berjalan secara seimbang (check and balances) sehingga melahirkan kebijakan - kebijakan politik yang sesuai dengan aspirasi rakyat, yakni terpenuhinya kebutuhan hidup, kesejahteraan, yang kemudiaan berujung pada kebahagiaan.

Di Indonesia, proses dialektika politik belum berjalan normal. Banyak faktor yang menyebabkan ketidaknormalan ini (perlu bahasan tersendiri). Yang jelas, masing-masing cabang kekuasaan yang ada tampak memiliki ego ingin menonjolkan diri. Masing-masing fokus pada maksimalisasi peran, seolah ingin tampak paling baik di mata rakyat.

Padahal bukan itu yang dibutuhkan rakyat. Penonjolan peran hanya akan melahirkan ketidakseimbangan di antara cabang kekuasaan. Alih - alih memenuhi aspirasi dan kebutuhan rakyat, ketidakseimbangan sudah pasti akan mengabaikan aspirasi rakyat. Setiap cabang kekuasaan sibuk dengan dirinya sendiri dan mengabaikan fungsi dan tugasnya sebagai pelayan rakyat.

Pada situasi seperti ini kontrol publik yang berada di luar cabang-cabang kekuasaan menjadi penting. Proses dialektika tidak hanya terjadi antara tiga cabang kekuasaan, tapi antara pemegang kekuasaan (pejabat negara) dan rakyat sebagai warga negara. Kontrol dari warga negara diharapkan bisa menyadarkan pejabat negara yang telah melalaikan tugas-tugasnya untuk memenuhi kebutuhan, menyejahterakan, dan (bahkan) membahagiakan warga negara.

Melalaikan tugas adalah bentuk pengkhianatan yang nyata terhadap sumpah jabatan, dan terhadap rakyat yang telah memilih (baik secara langsung atau tidak langsung) dan mengupahnya (melalui pajak yang dibayarkan pada negara).

Jika dalam proses dialektika tersebut tidak mampu melahirkan kesadaran pejabat negara, pilihannya cuma dua: pejabat negara seyogyanya mengundurkan diri, atau dipaksa harus mundur. Karena rakyat tidak membutuhkan pejabat yang berkhianat. Jika karena sesuatu dan lain hal, dua pilihan ini tidak bisa dilakukan, maka pilihan terburuknya, rakyat bersabar hingga pemilu tiba dan tidak memilih kembali pejabat yang bersangkutan.

Begitulah proses ideal dalam dialektika antara penguasa dengan apa yang menjadi kepentingan dan keinginan rakyatnya. Tentu tak akan mudah mencapainya, bahkan untuk memulai sekalipun. 

Tidak perlu ambil pusing akan retorika "panggung politik" yang dilancarkan si Kencur, toh ini keniscayaan dalam bernegara, terlebih berpolitik. Politisi akan terus silih berganti sesuai dengan kondisi zamannya. Cari panggung juga salah satu momen yang ditunggu mereka untuk menggaet perhatian massa. Tinggal bagaimana masyarakat menilai serta berproses mencapai sintesis yang menyenangkan untuk semua pihak.


Jadi, bagaimana dengan kita.. si kencur-kencur yang akan memilih untuk tumbuh subur, atau justru mati terkubur di masa mendatang?
Selamat menentukan!





Muhammad Yazid Ulwan
Mahasiswa FIA UI 2015

Sumber:
- Larry Krasnoff, Hegel’s Phenomenology of Spirit, Cambridge, Cambridge University Press, 2008.
- Rohim Ghazali: dalam postingan https://geotimes.co.id/fahri-bau-kencur-tsamara-dan-dialektika-politik-indonesia/
Share:

Rabu, 12 April 2017

Pamflet Masa Darurat—"Sajak Sebatang Lisong"


Sajak Sebatang Lisong

Menghisap sebatang lisong,
melihat Indonesia raya
mendengar 130 Juta rakyat
dan di langit..
dua-tiga Cukong mengangkang
berak diatas kepala mereka

Matahari terbit
fajar tiba
dan aku melihat delapan juta kanak-kanak
tanpa pendidikan

Aku bertanya,
tetapi pertanyaan-pertanyaanku
membentur meja kekuasaan yang macet
dan papan tulis-papan tulis para pendidik
yang terlepas dari persoalan kehidupan

Delapan juta kanak-kanak
menghadapi satu jalan panjang..
tanpa pilihan
tanpa pohonan
tanpa dangau persinggahan
tanpa ada bayangan ujungnya


Menghisap udara
yang disemprot deodorant
aku melihat sarjana - sarjana menganggur
berpeluh di jalan raya
aku melihat wanita bunting
antri uang pensiunan

Dan di langit
para teknokrat berkata :


"Bangsa kita adalah bangsa yang malas
bahwa bangsa mesti dibangun
mesti di upgrade,
disesuaikan dengan teknologi yang diimpor"


Gunung-gunung menjulang
langit pesta warna di dalam senjakala
dan aku melihat
protes-protes yang terpendam
terhimpit di bawah tilam

Aku bertanya
tetapi pertanyaanku
membentur jidat penyair-penyair salon
yang bersajak tentang anggur dan rembulan,

sementara, ketidakadilan terjadi disampingnya

dan delapan juta kanak-kanak tanpa pendidikan
termangu-mangu di kaki dewi kesenian

Bunga-bunga bangsa tahun depan
berkunang-kunang pandang matanya
di bawah iklan berlampu neon
berjuta-juta harapan ibu dan bapak
menjadi gebalau suara yang kacau
menjadi karang di bawah muka samudra


Kita mesti berhenti membeli rumus-rumus asing
diktat-diktat hanya boleh memberi metode
tetapi kita sendiri mesti merumuskan keadaan

kita mesti keluar ke jalan raya
keluar ke desa-desa
menghayati sendiri semua gejala
dan menghayati persoalan yang nyata


------
Sajakku,
pamflet masa darurat
apalah artinya renda-renda kesenian
bila terpisah dari derita lingkungan
apalah artinya berpikir
bila terpisah dari masalah kehidupan.

Kepadamu,
aku bertanya.


WS RENDRA
(Bandung - 19 Agustus 1977) 



Share:

Senin, 06 Februari 2017

Hilang dan Kembali

==============

Sempat aku berada,
di puncak-puncak masa
pertama puncak gilang-gemilangan
dimana rasa
dan pikiranku,
tercurah semua

lewat narasi karya nyata

Pernah pula aku,
ada di puncak lainnya
puncak "iman" namanya
dimana aku mengenal
siapa diriku?
mengapa aku?
apa gunaku?
dan
apa harusku,

seutuhnya

Tak jarang pula diriku,
masuk dalam kubangan gila,
lumpur yang pekat dosa
hitam legam
teramat hina
bohong,
dusta durjana

Sekali lagi aku,
menyingkap topeng itu jua
kepalsuan wajah,
kebenaran hati

kebimbangan kata

Tapi aku,
tak mau kamu
atau dia, dan semua-mua
melihat lusuh diriku
Tidaklah berlama-lama

Biarlah Ia
biar nanti,
biar kan aku dibimbing,
dituntun dengan binar cahya-Nya,
menyalut diri yang buta,
mata
hati

Kaca,
tak pernah kala nya mendua
hanya menyindir si purwa-rupa
onar wajah, onar semua
Satu-satu, dua terasa

Kini saatnya diri,
mengembara jauh.
belum,
kembara diri.
menentu arah,
menguak hati

dan Aku,
biarkanku
dituntunku

Oleh-Nya,
Ia semata
--Pertolongan dari-Nya

Maha Kuasa.


Senja di sore itu..

Share:

Wahai Pemuda!

Sebuah nasihat dari Imam Hasan Al-banna bagi para pemuda.

Mari sejenak kita lepaskan "cap hitam" atas afiliasi politik dan semacamnya. Sungguh, kata-kata darinya begitu tinggi untuk direndahkan, pun terlantun suci bila dihinakan (memuat Qur'an).

Seorang imam, penuntun, penasihat, penggerak, dan pendakwah yang teramat besar pengaruhnya bagi gerakan islam modern di dunia. Kepiawaiannya dalam berdakwah dan jalan juangnya yang cukup menantang, bisa membangkitkan ghirah muslimin dan membawa dakwah ke dalam periodisasi tersendiri. Terbukti, itulah yang mampu membuat negeri ini sempat merasakan gegap-gempitanya di kala itu.

Berbagai anjuran dan ajarannya sesuai prinsip keislaman, tetap tumbuh dan hidup, bahkan hingga usai kepergiannya. Wallahu'alam.


"Bersedialah wahai Pemuda!, dan mulailah beramal hari ini. Karena mungkin esok kamu tidak lagi bisa mengerjakannya".
*). Sumber : Tertera (Malay sub).





========================



*PM Indonesia, Sutan Sjahrir memberi ucapan terimakasih pada IM dan Al-banna
dalam lawatannya ke Mesir.




#Pemuda #Sejarah #Muslimin #Kanandulu
Share:

Selasa, 17 Januari 2017

Menakar Syak Wasangka

Hidup di tengah masyarakat yang heterogen terlebih sebuah kota besar, memiliki banyak cerita dan tantangan tersendiri bagi tiap individu. Ragam cerita, beragam pula masalah dan solusi penyelesaiannya.

Berbicara tentang demografi dan kaitannya dengan etnisitas, fakta terdapat lebih dari 1.340 suku bangsa di Indonesia menandakan bahwa ada begitu banyak keyakinan dan adat istiadat masyarakat di bumi pertiwi ini. Hal ini kemudian dianggap sebagai sebuah "kekayaan" bagi Indonesia yang mungkin tidak ditemui (atau hanya sedikit) di negara-negara belahan dunia lainnya.

Bila saya tarik waktu mundur dua dekade kebelakang, yakni kurun waktu 1990-an. Maka, ada banyak peristiwa-peristiwa atau konfik yang mewarnai perjalanan sejarah di Indonesia pada era pra-millenial. Konflik ini bermula baik dari daerah kota maupun desa, dan ihwal permasalahannya sama, konflik horizontal. Dalam cara pandang sosiologis, konflik ini biasa dikaitkan dengan masalah primordial. Begitulah pernyataan diatas kertas latarbelakang munculnya masalah sosial bangsa yang akut ini. PBB mencatat sebanyak 75% dari konflik besar yang terjadi di dunia saat ini berakar pada dimensi kultural (etnis dan kebudayaan).

Saya bukan saksi hidup yang hafal seluk-beluk perjalanan sebuah bangsa. Namun, catatan sejarah telah mendeskripsikan dengan runut ada banyak sekali terjadi konflik yang bermain di ranah hilir (sila- dicek). Hal ini membuka mata dan pikiran kita bersama bahwa memang ada yang salah dalam kehidupan berbangsa dan bernegara selama ini, bahkan dalam scope yang terbilang kecil!. Sebutlah contoh itu konflik antar suku, konflik antar-ummat beragama, maupun konflik antar kelas (golongan), mungkin juga antar kampung?. Ah, apapun itu, semua seakan sama-sama tidak ada habisnya.

--Lalu, apa yang sebetulnya menjadi permasalahan ini?
Penyebabnya ialah rasa "Syak wasangka". 
syak n: rasa kurang percaya (sangsi, curiga, tidak yakin, ragu-ragu). 
wasangka/wa·sang·ka/ n: kebimbangan hati; rasa khawatir; kecurigaan;
Dari arti kata, boleh jadi disimpulkan bahwa syak wasangka adalah ketidakpercayaan seseorang atas diri dan orang lain, serta menaruh rasa kecurigaan (ketidaksukaan).
Ini bisa dikaitkan dengan istilah rasa berburuk sangka, karena keduanya memang hal yang tidak dipisahkan secara etimologi: sangka.

Pict: "what causes prejudice?"
(www.reference.com/world-view/causes-prejudice-ff38fd3c76a674b)


Mengapa syak wasangka?
Misalnya saja, konflik antar etnis dan antar golongan yang sering terjadi, kalau didalami lagi biasanya bermula dari permasalahan sederhana nan kecil, misalnya perorangan (individu). Lalu yang menjadi 'minyak' dalam api konflik itu adalah rasa syak wasangka dan soliditas in-group serta labelling out-group pada golongan tertentu. Akhirnya, satu orang di kelompok itu menaruh kecurigaan terhadap orang di kelompok lain, menyebarluas hingga menjadi menjadi konflik yang lebih besar.

Ada beberapa faktor yang menyebabkan seseorang memiliki penilaian buruk dan menaruh rasa kecurigaan (syak wasangka) terhadap orang lain, antara lain sebagai berikut;

1. Adanya kategorisasi sosial, (Aku, kamu, kita & mereka)
Hal pertama penyebab  prejudice  ini adalah  terjadinya  kategorisasi; yakni masyarakat cenderung mengelompokkan orang berdasarkan karakteristik tertentu, seperti gender, kebangsaan, etnis, dan sebagainya. Itu pula yang melahirkan konflik sosial berkepanjangan, bahkan dimulai dari pembedaan pengelompokan manusianya!.

*Ilustrasi: "In groups-out groups" :D
(https://theunrecordedman.wordpress.com/2015/07/04/in-groups-out-groups/)


2. In-Group Bias

In-Group Bias adalah perasaan positif dan perlakuan istimewa seseorang kepada orang lain yang dianggap bagian dari in-group, serta perasaan negatif dan perlakuan yang tidak adil terhadap orang yang dianggap sebagai bagian out-group. Henri Tajfel (1982), menggarisbawahi motif utama dari solidaritas dalam kelompok, yaitu self-esteem: Individu berusaha meningkatkan self-esteem (harga diri) dengan cara mengidentifikasi dirinya ke dalam kelompok sosial tertentu.

3. Kegagalan berpikir logis
Belakangan ini, sering dijumpai berita Hoax dan orang-orang yang reaktif terhadap sebuah permasalahan, hal ini juga berkaitan dengan lemahnya kemampuan bernalar seseorang. Atau sopannya, ia bernalar namun kurang mau membuka diri dengan hal yang logis karena dianggap bertentangan dengan apa yang ia yakini. Kegagalan berpikir logis (the failure of logic/fallacy), menjelaskan bahwa ada suatu keadaan di mana emosi seseorang mengalahkan logikanya (untuk menerima argumen dan hal-hal yang logis).

Wait, wut?.. :
(http://www.quickmeme.com/meme/356f48)


4. Kuatnya Stereotip
Pada dasarnya stereotype merefleksikan keyakinan budaya mengenai hal tertentu. Tidak selalu negatif, tapi notabene orang menilai sebagai pandangan yang miring untuk pembenaran terhadap evaluasi orang lain. Individu dapat menginternalisasi stereotype tersebut dan menggunakannya sebagai bagian dari skema yang dimilikinya. Jika individu tidak percaya (stereotip), ia dengan mudah akan mengakui bahwa itu sebagai kepercayaan yang didukung oleh orang-orang lain.

Selain beberapa faktor diatas, adapula faktor mendasar yang barangkali sudah jadi kebiasaan sebagian besar kita. Perasaan jadi "benar" sendiri.
Kadang banyak dari kita berdalih, "benar itu yang penting gue gak ganggu lo atau dia"
Apa iya..?

Memang, sebuah kebenaran punya banyak variabel dan kriteria tersendiri. Bisa jadi, antara satu orang dengan orang lainya punya penilaian sendiri tentang apa yang dianggapnya "benar". Begitu pula dengan kesalahan. Tetapi, perlu digarisbawahi bahwa, yang namanya benar tidak hanya sebatas "gue gak ganggu", coba ditambahin lagi dengan "gue gak ganggu, dan gue (juga) sejalan dengan nilai yang ada di sini". Jika halnya seperti diatas, barulah terwujud suatu kebenaran yang relevansinya nyata, atau katakanlah diakui sebagai sebuah nilai. Dengan demikian, perasaan "syak wasangka" mungkin saja tidak hadir. Mengapa? karena orang itu sendiri yang memang tidak menghadirkan prasangka ini.

Pict: "betrayal"
(http://9gag.com/gag/aYN8gPN)


--Kembali membahas musabab konflik. Bilamana rasa syak wasangka tidak ditundukkan dengan seperangkat nilai yang diamini bersama, justru hal ini yang bukan tidak mungkin akan terus menciptakan kegaduhan. Ambil-lah contoh akhir-akhir ini, banyak orang yang perangainya biasa saja di dunia nyata, namun seakan tahu segalanya di dunia maya (padahal nyata juga). Membagi postingan ini-itu di media sosial yang mereka punya. Tapi, belum tentu ia paham dengan isinya, apalagi validitas informasi tersebut. Maka, ada baiknya demi meredam rasa sangka-sangkaan ini, di crosscheck kembali segala informasi yang kita dapat. Saya yakin, pun bila terjadi konflik, (setidaknya) hanya menimbulkan korban-korban hoax dan korban bully saja, hhe.. Yang pasti, jangan sampai menimbulkan korban jiwa!.

Oleh karena itu, sebagai akhir dari tulisan ini, yuk mari kita jadikan setiap diri kita sebagai orang yang penuh prasangka positif kepada sesama. Saling mengingatkan dengan teman, sahabat, orang-orang dekat kita, begitu pula dengan orang lain yang kita jumpai. Kuatkan ikatan kebersamaan. Karena membenci dan menaruh curiga pada seseorang biasanya sesaat, maka lebih baik mawas diri dan bijak untuk sepenuhnya menuai manfaat. InsyaAllah


Pict by: African Proverb
(http://weheartit.com/entry/164186076)


Demikian tulisan ringkas saya,
Apabila ada informasi yang kurang berkenan dari tulisan diatas, harap maklum adanya.
Terimakasih :)

"Berhati-hatilah kamu dengan berprasangka karena sesungguhnya berprasangka itu adalah sebohong-bohong ucapan" -HR. Bukhari dan Muslim





====================
[1]. Kamanto Sunarto, Pengantar Sosiologi (Jakarta: LPFE Universitas Indonesia, 2004) h.151
[2]. Handout Psi Sosial II: Prasangka/ MM. Nilam Widyarini
[3]. KBBI: Syak, wasangka
[4]. Data Konflik Sosial, diakses dari: https://m.tempo.co/read/news/2015/05/21/078668047/konflik-yang-dipicu-keberagaman-budaya-indonesia
[5]. Prasangka dalam islam, diakses dari: http://www.islamituindah.my/jauhi-prasangka-sesama-islam
Share:
ASSALAMU'ALAIKUM.. SELAMAT DATANG DI BLOG SAYA. AMBIL MANFAAT, BUANG YANG KURANG BERKENAN :)

Hit and Visitors

@yazid.ulwan / 2022. Diberdayakan oleh Blogger.

Kita dan Bangsa!

Kita dan Bangsa!
cintailah negerimu, bagaimanapun kesenanganmu dengan budaya di negeri sana, pastikan darah juang selalu lekat dihatimu

Labels and Tags

Labels

Catatan Pinggir

Menulis dalam sebuah wadah yang baik demi kebermanfaatan, ialah suatu 'kewajiban' bagi saya meski sepatah-dua patah kata saja. --Jejak--