"Jika engkau bukan anak raja dan bukan anak seorang ulama, maka jadilah seorang penulis" - Al Ghazali

Selasa, 22 Agustus 2017

Sebat(as) Maskulinitas: Sebuah Opini terhadap Sebatang Rokok dan Penikmatnya

Satu batang itu diberi nama "hisap kenikmatan" bagi mereka yang mengonsumsinya. Entah saya harus memulai dari mana. Yang jelas, saya akan menceritakannya dari perspektif pribadi.
Ilustrasi "sebat": akronim sebatang
Ya, rokok sudah menjadi barang yang tidak asing lagi ditengah masyarakat Indonesia. Penjualannya yang begitu massif, iklan dan film-film yang kian hegemonik dan kinerja korporat yang ekspansif membuat rokok agaknya menjadi komoditi yang sudah lazim ditemui oleh publik saat ini. Tak ayal, konsumsinya pun selalu meningkat tiap tahun. Mulai tua sampai muda (mirisnya lagi anak-anak), sudah mengenal dan juga mengonsumsi makanan produk yang satu ini.

Bayangkan, sejak era pra-kemerdekaan saja sudah berdiri industri rumahan pengrajin rokok. Baik itu kretek buatan tangan, maupun semi-mesin. Bahkan, ada yang masih bertahan sampai saat ini ini dan menjadi korporat besar. 

Sebut saja HM Sampoerna yang didirikan tahun 1930 bernama (NVBM Handel Maatschapij Sampoerna) dengan merek tertuanya Dji Sam Soe yang ternyata sudah dibuat lebih dulu pada tahun 1913. Atau Bentoel Group yang merintis perusahaan rokok dengan nama (Strootjesfabrieks Ong Hok Liong), sebagaimana pendiri perusahaan yang bernama Hok Liong. Meski baru berkembang pasca Indonesia merdeka, nyatanya rokok sudah menjadi kawan lama—meski sebahagian tidak mengonsumsinya karena alasan kesehatan—bagi masyarakat Indonesia.

Kini, industri-industri rokok sudah semakin mapan. Peralatan yang canggih, perusahaan berlabel blue chip corporate dengan kapitalisasi pasar (market cap) yang besar, bermacam varian produk, serta beragam segmentasi, semakin meramaikan geliat penjualan produk rokok di Indonesia.

Dari sisi bisnis dan ekonomi, rokok mungkin boleh saja dibanggakan. Betapa tidak, penerimaan negara dari pajak cukup besar disumbangkan olehnya berupa cukai rokok (10%). Tapi mesti diingat, arti cukai disini ialah besaran tarif yang dikenakan bagi segala produk yang dinilai menghasilkan eksternalitas negatif—rokok, minuman beralkohol, plastik—sehingga perlu adanya pengendalian dari pemerintah dalam peredarannya. Wacana terbaru, kenaikan cukai rokok dalam beberapa waktu kedepan nampaknya sedikit mempengaruhi harga produk yang satu ini. Markitung.. mari kita hitunggu.

Saya tidak akan berlama-lama membahas rokok dari sisi kesehatan, bisnis atau rokok sebagai komoditas jual-beli. Satu hal yang mengganjal dalam benak saya—dan entah sudah beberapa kali kerap dicap sebagai 'si cemen', 'banci', atau 'si cupu' oleh perokok. 

Mereka seringkali menyinyir sekaligus bertanya. S
elain cuma menanggapi dengan jawaban, tentunya saya punya pertanyaan lain:

"Apakah rokok membuat pengonsumsinya terlihat maskulin?"

Terlalu naif bila saya menyangkal pertanyaan yang saya lontarkan sendiri. Tentu, jawabannya akan sangat beragam. Bagi Ia yang menganggap rokok secara simbolik merepresentasikan aura "kegagahan" dibandingkan mereka yang tidak memakai, ada alasan tersendiri. Salah satunya, karena merokok bukan suatu tindakan yang secara moral value diaminkan masyarakat umum. Maka, diperlukan keberanian dari seorang perokok untuk melakukannya. Kemudian, datang penilaian dari masyarakat bahwa merokok berarti memberanikan diri. Entah benar atau tidak, penilaian subyektif saya toh demikian.

Lain simbolik, lain juga dengan etik. Dilihat dari budaya "ketimuran" kita berkata bahwa rokok memang sangat identik dengan pria. Tetapi, tidak menutup kemungkinan seorang wanita bisa saja merokok, bahkan sudah banyak dijumpai di tengah kita, mungkin yang hilir mudik di lingkungan kampus akan sedikit memahami.

Jika seorang wanita merokok, khususnya seorang gadis, yang terlintas dalam pikiran awam terlebih dalam tradisi ketimuran kita ialah sebuah stereotype negatif pada wanita itu. Namun, lain halnya rokok dan pria. Mereka terkesan identik. Dimana ada rokok, berarti rokok tersebut adalah milik pria (dilihat dari etik ketimuran), tetapi mesti diingat: tidak semua pria adalah perokok.

"Rokok adalah sebuah lambang maskulinitas", kata seorang perokok. Pernyataan inilah yang mungkin banyak menjerat remaja jatuh menjadi pecandu rokok diawal masa perkembangannya. Akhirnya? ada dua pilihan. Terus berlanjut, atau berhenti (saya yakin jarang terjadi). Karena, pengakuan mereka yang sudah terbiasa merokok akan sangat sulit untuk meninggalkannya. Butuh usaha lebih dan kebulatan tekad untuk meninggalkan kebiasaan yang sudah layaknya candu. Benar saja ada kelakar: "mangan ora mangan, sing penting udud" (makan gak makan, yang penting ngudud/ ngerokok). Bah!

Jika menggunakan sekadarnya dan si pemakai orang yang tahu diri, jelas akan menjadi hal yang berbeda. 

Representasi maskulinitas dari merokok bisa kita jumpai dalam iklannya. Seperti digambarkan menggunakan tanda dan bahasa yang tidak lepas dari budaya patriarkal. Bila laki-laki muncul dalam iklan, penokohannya digambarkan pemberani, agresif, jantan, mandiri, kuat, berkuasa, dan pintar.

Konsep maskulinitas selalu digambarkan dengan tubuh berotot, dan tubuh berotot adalah tubuh yang paling ideal untuk menggambarkan “kelaki-lakian”. Maskulin sebagian besar hanya diukur dari unsur sensualitas dan dapat diartikan bahwa maskulin sebagai sebuah barang yang sangat bermanfaat dan dipergunakan produsen dengan memberikan janji-janji dan solusi bahwa maskulinitas bagi laki-laki bisa didapatkan dari produk yang mereka tawarkan.

Dalam sebuah kajian kontemporer sebuah komunitas mahasiswa, saya mengutip artikel dari kawan-kawan Deadpo*l UI yang ternyata punya data dan argumen cukup menarik. Mengacu pada data Riset Kesehatan 2013 yang dikeluarkan oleh Kementrian Kesehatan Indonesia, di Indonesia jumlah perokok laki-laki mencapai 56.860.457 sedangkan jumlah perokok perempuan hanya mencapai 1.890.135. Dominasi tersebut menghasilkan legitimasi, salah satunya dalam bentuk stigma negatif terhadap perempuan yang merokok (meski saya juga kurang setuju akan keduanya). Di dalam suatu masyarakat yang dipengaruhi oleh budaya patriarki stigma negatif perempuan yang merokok kerap kali muncul dan terlegitimasi oleh dominasi perokok yang mayoritas adalah laki-laki.



Selain pembangunan wacana antara gender dan rokok, hal yang cukup memprihatinkan juga bagi bangsa ini daripada sekadar persoalan pria maupun wanita sebagai perokoknya adalah ihwal usia si perokok itu sendiri. Di sebagian besar negara, tingkat perokok 'muda' (kurang dari 18 tahun) cenderung mengalami penurunan antara kurun 2013-2016. Sementara, tingkat perokok 'muda' di Indonesia, justru meningkat dari 7,2% menjadi 8,8% -Data riset dan kesehatan dasar RI.

Di antara anak usia 10-14 tahun, lebih dari 3% adalah perokok pada kurun 2013 sampai 2016 (mayoritas laki-laki), dan lebih dari 18% anak laki-laki serta 9% anak perempuan usia 10-14 tahun tersebut pernah mencobasecara pasif maupun aktifuntuk merokok.
Persentase perokok usia muda di Indonesia



Anak 'lanang' usia 13-15 tahun sudah mencoba produk-produk tembakau.


Dengan demikian, karena pola yang dibentuk oleh agen atas signifikansi rokok dibangun atas citra maskulinitas, salah satunya adalah legitimasi terhadap stigma negatif perempuan yang merokok, praktik sosial tersebut kemudian menghasilkan struktur yaitu rokok membuat seseorang terkesan lebih maskulin. Hal ini kemudian dapat menjadi motivasi seseorang untuk merokok, bahkan pola-pola itu sudah terbentuk sejak usia mudakendati ia mengetahui bahaya dari merokok namun hal itu tertutup oleh hegemoni praktik sosial tersebut.



Karena "Nggak ada loe, nggak rame", brader!


Sudahlah kawan, bila merokok adalah sebuah pilihan, biarkan mereka yang tidak merokok untuk memilih juga. Apakah Ia akan tetap percaya pada apa yang diyakini (not just in religious way), ataupun tidak. Semua kembali kepada diri masing-masing. Berikan ruang bagi semua untuk saling tahu diri, dan yang terpenting bagaimana juga bisa menempatkan etik diri di tengah masyarakat.

Kita berbicara sebuah produk yang punya implikasi besar terhadap beberapa sektor. Baik ekonomi, kesehatan, sosial, atau bahkan politik(?). Ah iya, jangan lupa ada W.S Rendra, Chairil Anwar dan Pram dengan Sastra nya. Mereka perokok, tapi karyanya banyak. Atau lebih lagi perdebatan ulama tentang si batang yang satu ini. Sudah seringkali menimbulkan kehebohan.

Terlepas dari semua itu, toh nasi kita masih sama-sama putih. :)

If u want to discuss about this, I'm so glad and very welcome, bor. Edankeun!



Salam Super,

Muhammad Yazid Ulwan
- Mahasiswa "Suka Pertentang-tentungan"

=============================
Referensi: 

[1]. Haryanto, Ibnu Dwi (2014) Representasi Kuasa Maskulinitas Dalam Iklan Rokok Djarum Super (Studi Semiotika Representasi Kuasa Maskulinitas Dalam Iklan Rokok Djarum Super My Life My Advanture)
[2].www.medium.com/@deadpoolui/rokok-sebagai-sebagai-signifikansi-maskulinitas-dalam-legitimasi-masyarakat-patriarkal-dalam-e23077d8c13
[3].www.psychologymania.com/2012/02/rokok-dan-maskulinitas-seorang-pria.html
[4].www.kaskus.co.id/thread/5617ca25e0522798748b4576/sejarah-rokok-kretek-di-indonesia/
[5].www.edition.cnn.com/2017/08/30/health/chain-smoking-children-tobacco-indonesia/index.html

Dan sumber-sumber lain dengan olahan penulis.
Share:
ASSALAMU'ALAIKUM.. SELAMAT DATANG DI BLOG SAYA. AMBIL MANFAAT, BUANG YANG KURANG BERKENAN :)

Hit and Visitors

@yazid.ulwan / 2022. Diberdayakan oleh Blogger.

Kita dan Bangsa!

Kita dan Bangsa!
cintailah negerimu, bagaimanapun kesenanganmu dengan budaya di negeri sana, pastikan darah juang selalu lekat dihatimu

Labels and Tags

Labels

Catatan Pinggir

Menulis dalam sebuah wadah yang baik demi kebermanfaatan, ialah suatu 'kewajiban' bagi saya meski sepatah-dua patah kata saja. --Jejak--