"Jika engkau bukan anak raja dan bukan anak seorang ulama, maka jadilah seorang penulis" - Al Ghazali

Minggu, 08 September 2019

Memacu Investasi di Indonesia

Awal September 2019, Bank Dunia (The World Bank), mengeluarkan sebuah rilis yang berjudul: "Global Economic Risks, and Implications for Indonesia". Tak ayal, rilis ini langsung menghebohkan jagat dunia investasi di Indonesia yang memang sedang mengalami slowdown (perlambatan), dan potensi tekanan akan adanya resesi global.

Lalu, pertanyaan yang kemudian timbul adalah, apa penyebabnya?



Indonesia saat ini tengah menghadapi ancaman kondisi capital outflow, yakni posisi CAD (current account deficit), melambung hingga mendekati angka psikologis 3 persen dari jumlah PDB. Tentu, hal ini menjadi perhatian serius karena negara Indonesia sendiri di lain sisi juga sedang gencar-gencarnya menggenjot pembangunan di dalam negeri.

Kondisi demikian, juga diperparah dengan rendahnya capaian PMA (Penanaman Modal Asing) Indonesia yang hanya mencapai $22 miliar dari target akhir tahun yakni sebesar $33 miliar. Sedangkan untuk investasi Indonesia di luar negeri baru mencapai $5 miliar. Angka ini masih menjadi pekerjaan rumah yang berat bagi Indonesia untuk menutup defisit yang cukup lebar (diperkirakan total $16 miliar), serta menggenjot laju investasi dengan mendapat capital inflow yang ekstra.

Dalam perspektif makro, CAD (current account deficit) memang dapat menggambarkan kondisi perekonomian suatu negara yang memiliki stabilitas dari risiko monetersetidaknya dalam jangka pendekdengan catatan Penanaman Modal Asing mendominasi sektor riil yang dapat menghasilkan produk berdaya ekspor atau menghasilkan devisa bagi Indonesia.

Pertubuhan GDP yang masih mengalami fluktuasi menambah beban berat economic growth Indonesia dalam beberapa waktu mendatang (setidaknya sampai 2022). Data dari BPS, CEIC dan World Bank mengungkapkan bahwa pada tahun 2020, proyeksi potential output growth dari GDP Indonesia berada pada kisaran 4.9-4.6 persen. Menurun dari tahun 2018 di angka 5.2 persen dan proyeksi di akhir tahun 2019 sebesar 5 persen.

Pelemahan (slowdown) dalam pertumbuhan ekonomi Indonesia, sejatinya hanya salah satu dampak dari akumulasi global slowdown dan kekhawatiran akan terjadinya resesi global (diperkirakan tahun 2020). Hal ini tidak terlepas dari semakin memanasnya trade-war antara negara ekonomi besar seperti US-China, dan risiko geopolitik yang merambah sampai ke berbagai negara lainnya.

Data menjelaskan lebih lanjut bahwa risiko yang ditimbulkan adalah terjadinya krisis. Jika melihat kondisi saat ini, tentu bukan hal yang mengada-ada bahwa telah terjadi pelbagai gejolak yang mendorong kecemasan dalam perekonomian global, seperti: pemilu US, realisasi Brexit, demonstrasi menolak ekstradisi di Hongkong, krisis Argentina, Turki, Kashmir, tensi antara Jepang dan Korea, sanksi Iran dan shadow war dengan Israel, serta gejolak lainnya yang bisa saja muncul.

Solusi yang menjadi pilihan bagi Indonesia untuk dapat survive di tengah arus perekonomian global yang menghadapi ketidakpastian adalah dengan mendorong FDI (foreign direct investment), bukan dengan mengurangi current account deficit atau CAD yang berada di kisaran 3 persen. FDI diharapkan dapat menjadi stimulus dalam mendatangkan investasi-investasi baru di Indonesia.

Hal berikutnya yang menjadi catatan bagi Indonesia, adalah bagaimana upaya yang dilakukan Pemerintah untuk meyakinkan investor asing agar mau menanamkan modalnya di Indonesia. Tantangan yang dihadapi bukan lagi persoalan klise seperti isu politik, namun lebih kepada tataran teknis seperti persoalan perizinan, kemudahan bisnis, dan kepastian hukum. Ketiga hal tersebut masih menjadi pekerjaan rumah bagi Indonesia. Sebagaimana negara lain yang telah melakukan reformasi total dalam kebijakan ekonominya, Indonesia sampai saat ini jelas masih jauh tertinggal.

Indonesia menempati posisi cut-off dalam rantai nilai (suppy chain) produk manufaktur global. Sehingga, komoditas dan produk ekspor yang dihasilkan Indonesia, belum banyak membantu menyelamatkan perekonomian negara karena sewaktu-waktu dapat dikalahkan atau tergantikan oleh produk serupa dari negara lain. Hal ini tidak terlepas dari posisi Indonesia yang hanya mengisi rantai manufaktur globalsebagian besardengan komoditas (bukan teknologi).

Jika dilihat secara umum, komoditas yang diunggulkan oleh Indonesia yakni komoditas subsektor perkebunan, sebutlah kelapa sawit (sebagai biofuel), dan karet (sebagai komponen parts). Kemudian menyusul produk sektor pertambangan seperti nikel, besi, dan tembaga sebagai campuran bahan material. Pun demikian, harga sebagian besar komoditas tersebut terus tertekan oleh produsen di negara lainnya. Hal ini dikarenakan adanya perjanjian dagang yang disepakati oleh negara tertentu. Perjanjian ini dapat membuat bea dan tarif yang lebih murah serta mengikat antar negara yang bekerja sama. Sebagai contoh, negara yang telah berhasil membuat perjanjian dagang yang kompetitif antara lain: Vietnam, Thailand, Malaysia dan Singapura. Bila Indonesia tidak cermat dalam membuat perjanjian dagang semacam ini, maka tidak mengherankan bila komoditas ekspor Indonesia semakin terpuruk harga dan posisinya di pasaran global.

Untuk memacu investasi berkesinambungan di Indonesia, diperlukan serangkaian upaya konkret dan revolusioner. Investor tidak mau memasuki suatu negara yang tidak memiliki kepastian hukum dan pengurusan izin yang terlalu birokratis. Di Indonesia, pemerintah telah melakukan langkah inisiatif yakni menyederhanakan perizinan dengan kebijakan OSS (Online Single Submission). Akan tetapi pada praktiknya di lapangan masih banyak permasalahan yang perlu dibenahi.

Oleh karena itu, sebagai bangsa yang besar dan memiliki populasi terbesar ke-4 di dunia, Indonesia perlu untuk melakukan pembenahan secara total. Solusi yang perlu diperhatikan adalah mulai secara bertahap melakukan penguatan pada prinsip Ease of Doing Business (EoDB), diiringi dengan melepas ego-sektoral, yang secara simultan juga menyelaraskan langkah bersama antara pemangku kebijakan di tingkat pusat, daerah, maupun stakeholders terkait. Dengan didukung serangkaian program yang terukur seperti insentif dan perjanjian dagang yang dapat memacu laju investasi di Indonesia secara berkelanjutan. Maka, diharapkan investasi di Indonesia dapat melaju, serta menggerakkan sendi-sendi perekonomian negara menjadi lebih kuat dan lebih matang dalam menghadapi tantangan perekonomian global.

_______
Sumber:

- The World Bank (2019). "Global economic risks and implications for Indonesia". Report on September, 2019: The World Bank IBRD-IDA.

Muhammad Yazid Ulwan,
Staff Riset di FP2SB/GAPKI-IPOA

Share:
ASSALAMU'ALAIKUM.. SELAMAT DATANG DI BLOG SAYA. AMBIL MANFAAT, BUANG YANG KURANG BERKENAN :)

Hit and Visitors

@yazid.ulwan / 2022. Diberdayakan oleh Blogger.

Kita dan Bangsa!

Kita dan Bangsa!
cintailah negerimu, bagaimanapun kesenanganmu dengan budaya di negeri sana, pastikan darah juang selalu lekat dihatimu

Labels and Tags

Labels

Catatan Pinggir

Menulis dalam sebuah wadah yang baik demi kebermanfaatan, ialah suatu 'kewajiban' bagi saya meski sepatah-dua patah kata saja. --Jejak--