Satu batang itu diberi nama "hisap kenikmatan" bagi mereka yang mengonsumsinya. Entah saya harus memulai dari mana. Yang jelas, saya akan menceritakannya dari perspektif pribadi.
![]() |
Ilustrasi "sebat": akronim sebatang |
Ya, rokok sudah menjadi barang yang tidak asing lagi
ditengah masyarakat Indonesia. Penjualannya yang begitu massif, iklan dan
film-film yang kian hegemonik dan kinerja korporat yang ekspansif membuat rokok
agaknya menjadi komoditi yang sudah lazim ditemui oleh publik saat ini. Tak
ayal, konsumsinya pun selalu meningkat tiap tahun. Mulai tua sampai muda
(mirisnya lagi anak-anak), sudah mengenal dan juga mengonsumsi makanan produk
yang satu ini.
Bayangkan, sejak era pra-kemerdekaan saja sudah berdiri
industri rumahan pengrajin rokok. Baik itu kretek buatan tangan, maupun
semi-mesin. Bahkan, ada yang masih bertahan sampai saat ini ini dan menjadi
korporat besar.
Sebut saja HM Sampoerna yang didirikan tahun 1930
bernama (NVBM Handel Maatschapij Sampoerna) dengan merek tertuanya Dji
Sam Soe yang ternyata sudah dibuat lebih dulu pada tahun 1913. Atau
Bentoel Group yang merintis perusahaan rokok dengan nama (Strootjesfabrieks Ong
Hok Liong), sebagaimana pendiri perusahaan yang bernama Hok Liong. Meski
baru berkembang pasca Indonesia merdeka, nyatanya rokok sudah menjadi kawan
lama—meski sebahagian tidak mengonsumsinya karena alasan kesehatan—bagi
masyarakat Indonesia.
Kini, industri-industri rokok sudah semakin mapan. Peralatan
yang canggih, perusahaan berlabel blue chip corporate dengan
kapitalisasi pasar (market cap) yang besar, bermacam varian produk, serta beragam segmentasi, semakin meramaikan geliat penjualan produk rokok di Indonesia.
Dari sisi bisnis dan ekonomi, rokok mungkin boleh saja
dibanggakan. Betapa tidak, penerimaan negara dari pajak cukup besar disumbangkan olehnya berupa cukai rokok (10%). Tapi mesti diingat, arti cukai disini
ialah besaran tarif yang dikenakan bagi segala produk yang dinilai menghasilkan eksternalitas
negatif—rokok, minuman beralkohol, plastik—sehingga perlu adanya pengendalian
dari pemerintah dalam peredarannya. Wacana terbaru, kenaikan cukai rokok dalam
beberapa waktu kedepan nampaknya sedikit mempengaruhi harga produk yang satu
ini. Markitung.. mari kita hitunggu.
Saya tidak akan berlama-lama membahas rokok dari sisi kesehatan, bisnis atau rokok sebagai komoditas jual-beli. Satu hal yang mengganjal dalam benak saya—dan entah sudah beberapa kali kerap dicap sebagai 'si cemen', 'banci', atau 'si cupu' oleh perokok.
Mereka seringkali menyinyir sekaligus bertanya. Selain cuma menanggapi dengan jawaban, tentunya saya punya pertanyaan lain:
"Apakah rokok membuat pengonsumsinya terlihat maskulin?"
Terlalu naif bila saya menyangkal pertanyaan yang saya lontarkan sendiri. Tentu, jawabannya akan sangat beragam. Bagi Ia yang menganggap rokok secara simbolik merepresentasikan aura "kegagahan" dibandingkan mereka yang tidak memakai, ada alasan tersendiri. Salah satunya, karena merokok bukan suatu tindakan yang secara moral value diaminkan masyarakat umum. Maka, diperlukan keberanian dari seorang perokok untuk melakukannya. Kemudian, datang penilaian dari masyarakat bahwa merokok berarti memberanikan diri. Entah benar atau tidak, penilaian subyektif saya toh demikian.
Lain simbolik, lain juga dengan etik. Dilihat dari budaya "ketimuran" kita berkata bahwa rokok memang sangat identik dengan pria. Tetapi, tidak menutup kemungkinan seorang wanita bisa saja merokok, bahkan sudah banyak dijumpai di tengah kita, mungkin yang hilir mudik di lingkungan kampus akan sedikit memahami.
Jika seorang wanita merokok, khususnya seorang gadis, yang
terlintas dalam pikiran awam terlebih dalam tradisi ketimuran kita ialah sebuah
stereotype negatif pada wanita itu. Namun, lain halnya rokok dan pria. Mereka terkesan identik. Dimana ada rokok, berarti rokok tersebut adalah milik pria (dilihat
dari etik ketimuran), tetapi mesti diingat: tidak semua pria adalah perokok.
"Rokok adalah sebuah lambang maskulinitas", kata
seorang perokok. Pernyataan inilah yang mungkin banyak menjerat remaja jatuh
menjadi pecandu rokok diawal masa perkembangannya. Akhirnya? ada dua pilihan.
Terus berlanjut, atau berhenti (saya yakin jarang terjadi). Karena, pengakuan
mereka yang sudah terbiasa merokok akan sangat sulit untuk meninggalkannya.
Butuh usaha lebih dan kebulatan tekad untuk meninggalkan kebiasaan yang sudah
layaknya candu. Benar saja ada kelakar: "mangan ora mangan, sing penting
udud" (makan gak makan, yang penting ngudud/ ngerokok). Bah!
Jika menggunakan sekadarnya dan si pemakai orang yang tahu diri, jelas akan menjadi hal yang berbeda.
Representasi maskulinitas dari merokok bisa kita jumpai dalam iklannya. Seperti digambarkan menggunakan tanda dan bahasa yang tidak lepas dari budaya patriarkal. Bila laki-laki muncul dalam iklan, penokohannya digambarkan pemberani, agresif, jantan, mandiri, kuat, berkuasa, dan pintar.
Konsep maskulinitas selalu digambarkan dengan tubuh berotot,
dan tubuh berotot adalah tubuh yang paling ideal untuk menggambarkan
“kelaki-lakian”. Maskulin sebagian besar hanya diukur dari unsur sensualitas
dan dapat diartikan bahwa maskulin sebagai sebuah barang yang sangat bermanfaat
dan dipergunakan produsen dengan memberikan janji-janji dan solusi bahwa
maskulinitas bagi laki-laki bisa didapatkan dari produk yang mereka tawarkan.
Dalam sebuah kajian kontemporer sebuah komunitas mahasiswa, saya mengutip artikel dari kawan-kawan Deadpo*l UI yang ternyata punya data dan argumen cukup menarik. Mengacu pada data Riset Kesehatan 2013 yang dikeluarkan oleh Kementrian Kesehatan Indonesia, di Indonesia jumlah perokok laki-laki mencapai 56.860.457 sedangkan jumlah perokok perempuan hanya mencapai 1.890.135. Dominasi tersebut menghasilkan legitimasi, salah satunya dalam bentuk stigma negatif terhadap perempuan yang merokok (meski saya juga kurang setuju akan keduanya). Di dalam suatu masyarakat yang dipengaruhi oleh budaya patriarki stigma negatif perempuan yang merokok kerap kali muncul dan terlegitimasi oleh dominasi perokok yang mayoritas adalah laki-laki.
Selain pembangunan wacana antara gender dan rokok, hal yang
cukup memprihatinkan juga bagi bangsa ini daripada sekadar persoalan pria
maupun wanita sebagai perokoknya adalah ihwal usia si perokok itu sendiri. Di
sebagian besar negara, tingkat perokok 'muda' (kurang dari 18 tahun) cenderung mengalami penurunan antara kurun 2013-2016. Sementara, tingkat perokok 'muda' di Indonesia, justru meningkat dari 7,2% menjadi 8,8% -Data riset dan kesehatan dasar RI.

![]() |
Persentase perokok usia muda di Indonesia |
![]() |
Anak 'lanang' usia 13-15 tahun sudah mencoba produk-produk tembakau. |
Dengan demikian, karena pola yang dibentuk oleh agen atas
signifikansi rokok dibangun atas citra maskulinitas, salah satunya adalah
legitimasi terhadap stigma negatif perempuan yang merokok, praktik sosial
tersebut kemudian menghasilkan struktur yaitu rokok membuat seseorang terkesan
lebih maskulin. Hal ini kemudian dapat menjadi motivasi seseorang untuk
merokok, bahkan pola-pola itu sudah terbentuk sejak usia muda—kendati ia mengetahui bahaya dari merokok namun hal itu tertutup oleh
hegemoni praktik sosial tersebut.
![]() |
Karena "Nggak ada loe, nggak rame", brader! |
Sudahlah kawan, bila merokok adalah sebuah pilihan, biarkan
mereka yang tidak merokok untuk memilih juga. Apakah Ia akan tetap percaya pada apa yang
diyakini (not just in religious way), ataupun tidak. Semua kembali kepada diri masing-masing. Berikan ruang bagi semua untuk saling tahu
diri, dan yang terpenting bagaimana juga bisa menempatkan etik diri di tengah masyarakat.
Kita berbicara sebuah produk yang punya implikasi besar
terhadap beberapa sektor. Baik ekonomi, kesehatan, sosial, atau bahkan
politik(?). Ah iya, jangan lupa ada W.S Rendra, Chairil Anwar dan Pram dengan
Sastra nya. Mereka perokok, tapi karyanya banyak. Atau lebih lagi perdebatan
ulama tentang si batang yang satu ini. Sudah seringkali menimbulkan kehebohan.
Terlepas dari semua itu, toh nasi kita masih sama-sama putih. :)
If u want to discuss about this, I'm so glad and very welcome, bor. Edankeun!
Terlepas dari semua itu, toh nasi kita masih sama-sama putih. :)
If u want to discuss about this, I'm so glad and very welcome, bor. Edankeun!
Salam Super,
Muhammad Yazid Ulwan
- Mahasiswa "Suka Pertentang-tentungan"
=============================
Referensi:
[1]. Haryanto, Ibnu Dwi (2014) Representasi Kuasa
Maskulinitas Dalam Iklan Rokok Djarum Super (Studi Semiotika Representasi Kuasa
Maskulinitas Dalam Iklan Rokok Djarum Super My Life My Advanture)
[2].www.medium.com/@deadpoolui/rokok-sebagai-sebagai-signifikansi-maskulinitas-dalam-legitimasi-masyarakat-patriarkal-dalam-e23077d8c13
[3].www.psychologymania.com/2012/02/rokok-dan-maskulinitas-seorang-pria.html
[4].www.kaskus.co.id/thread/5617ca25e0522798748b4576/sejarah-rokok-kretek-di-indonesia/
[5].www.edition.cnn.com/2017/08/30/health/chain-smoking-children-tobacco-indonesia/index.html
[4].www.kaskus.co.id/thread/5617ca25e0522798748b4576/sejarah-rokok-kretek-di-indonesia/
[5].www.edition.cnn.com/2017/08/30/health/chain-smoking-children-tobacco-indonesia/index.html
Dan sumber-sumber lain dengan olahan penulis.
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapusPost bagus sayang petani seperti saya kurang asupan meme
BalasHapusTerimakasih atas apresiasinya Litbang BEM FIA 2018, saya minta maaf apabila post ini tidak menghasilkan meme yg bisa dipanen para petani lokal FIA. Mungkin kedepannya bisa dibuatkan riset tentang per-memean hhe
Hapus