"Jika engkau bukan anak raja dan bukan anak seorang ulama, maka jadilah seorang penulis" - Al Ghazali

Senin, 16 Agustus 2021

Menoleh Kembali (Bangsa)

Bertahun-tahun sudah, kobaran itu mereda
Namun bara nya jelas masih menyala-nyala
Aku tak tahu persis apa musababnya
Yang ku dengar, ada kepongahan di antara mereka

Sejenak, ku antar bertamasya ke masa lalu
Itulah saat yang paling ditunggu-tunggu
Lahirnya sebuah harap pembaharu
Menghiasi ladang subur dan lautan biru

Perlahan, kapal berlayar menyusuri jalan
Deburan ombak menyapu jejak perjuangan
Meski banyak onak dan duri yang tak terelakkan
Asa itu terus menjanji sampai ke tujuan

Namun, arus nan deras kerap ditemui
Hamparan pejal semenjana kian menjadi
Kata "berbeda-beda tetapi satu jua" yang indah ini
Semakin hari, terasa jauh panggang dari api

Kita tidak sedang mencari seorang yang salah
Seiya jua tak terbesit rasa untuk menyalahkan
Tapi, inilah saat untuk kembali menentu arah
Mengakhiri pragmatisme yang tak berkesudahan

Tujuh puluh enam tahun sudah
Kau bertarung menjaga marwah
Bergerak menyatukan seluruh tumpah darah
Melawan rongrongan para bedebah bermental penjajah

Kini, sampai manakah?

Semoga, masih ada jalan untuk menoleh kembali
Sebuah alasan yang bisa meyakinkan hati
Bahwa untuk menghadirkan makna "reintegrasi"
Bukanlah dengan menggali lubang yang sama lagi

Atau memang,
Zaman ini sudah membuncah,
Pada perubahan yang dinanti.




Pantai Utara Jakarta, 2021
Jalasveva Jayamahe!

Share:

Jumat, 19 Juni 2020

Memaknai Syukur

Klaim adalah penyakit bagi pejalan sunyi karena ia mengganggu ketulusan. Dikatakan misalnya, sepanjang seseorang masih mengklaim akan syukur, maka sesungguhnya ia belum merealisasikan esensi bersyukur yang tulus.
Hakikat syukur yang tulus ialah berterima kasih secara reflektif dan simultan. Perilaku berterima kasih sudah menjadi karakter dalam dirinya yang muncul secara otomatis setiap kali keadaan membutuhkan.
Dalam praktiknya, perbedaan antara syukur, yang berupa klaim dengan syukur yang tulus adalah perbedaan antara formalitas dengan sungguh-sungguh. Seseorang yang berterima kasih secara formalitas cukup dengan ucapan. Namun, yang sungguh-sungguh berterima kasih tidak dengan hanya ucapan.  Lebih dari itu, Ia lebih suka memberi, selalu berlapang dada, melapangkan kesulitan orang lain, rajin, apresiatif, akomodatif, dan bersemangat melakukan apa yang semestinya dilakukan.
.
Bersyukur bukan sekadar cukup dalam ucapan, tetapi memaknai dengan penuh apa yang sudah kita dapatkan. 
Teruslah "bersyukur" dengan caramu!

________
Source: Hakikat Syukur - Buya Kamba, dengan saduran penulis.
Gambar: diambil saat CFD Sudirman, Januari 2020
Share:

Minggu, 24 November 2019

Mengerti

Tak pernah tersingkap terang di akhir pedar
Bahwa selalu ada nyala di dalam suar
Yang berkejar menggapai puncak nabastala
Seraya memahat tinta memorabilia

Semilir angin pagi harum mewangi
Bertuan daksa dan aksara yang ku kenali
Menjalar ke dalam riuhnya alam raya
Mengalir bagai sumber tirta amarta

Mungkin belumlah lama senada bersua
Tetapi rasa, tak mesti banyak bertegur sapa
Sebetapa tinggi-rendah nada dan irama
Ada pelbagai sama yang ujung bermuara

Maka,

Tak perlu lah terburu menguak gaharu
Sebermula dahulu mengejar sesuatu
Menguatkan mencapai harsa di suatu waktu
Hingga Tuhan kan tunjukkan, kecamuk bahagia yang mengharu biru.

I'll be right here,
waiting for something true.




Share:

Selasa, 12 November 2019

Do not go gentle in that good night

"Do not go gentle into that good night,
Old age should burn and rave at close of day;
Rage, rage against the dying of the light.

Though wise men at their end know dark is right,
Because their words had forked no lightning they
Do not go gentle into that good night.

Rage, rage against the dying of the light."


________________
Poem by: Dylan Thomas
Movie: Interstellar
Share:

Minggu, 10 November 2019

Selamat jalan Dik, kita kan berjumpa lagi!

Sore itu, ku lihat raut wajahmu
Penuh rasa gembira dan suka cita
Dengan semangat, kau pun berkata
Bahwa hari esok "aku harus berada di sana"

Hari yang panjang itu kita lalui,
Terik matahari, menjadi kawan mengitari
Apa-apa yang telah datang kepadamu
Seakan engkau tahu
Bahwa itu adalah ungkapan pamit dari mu.

Malam tiba, kau pun tak sabar untuk segera
Melanjutkan niat dan ikhtiar kita bersama
Tempat dimana kamu katakan;
"Aku sudah tidak memikirkan dunia dan seisinya".

Rabu, 06 November 2019 / 09 Rabi'ul Awal 1441 H.
Allah memanggilmu dengan penuh kasih dan sayang-Nya.
RS Dharmais menjadi saksi berpulang,
Seorang hamba yang amat dicinta oleh kelurga dan teman-temannya.


Dik, waktu mungkin cepat berlalu
Tapi perjuanganmu, tak mungkin untuk dilupakan
Setiap peluhmu, perihmu, dan do'a-do'a dalam tatihmu
Seakan menjadi kawan penggugur rasa sakit itu.

Dik, aku bangga bisa menjadi kakak bagimu
Seorang yang cerdas, kuat dan tangguh
Meski terkadang aku selalu merindukan
Canda-tawa dan perdebatan kita di masa lalu.

Dik, Abi dan Mamah ikhlas dan ridho untuk mu
Kakak dan Adik, akan ku kuatkan selalu
Aku tahu kau tak mungkin lagi membaca pesan ku ini
Tapi aku yakin, Allah menyampaikan padamu lebih dari yang aku mampu tuliskan.

Selamat jalan Adik sayang,
Kita berpisah untuk mengharap kembali bersua di Syurga-Nya kelak
Do'a ku, semoga kita bisa berkumpul, dalam satu barisan yang sama
Ashabul Yamin.. wa Jannatul Firdausi Nuzula.

اللهم إنا نسألك رضاك والجنة ونعوذ بك من سخطك والنار
Allahumma inna nas-aluka ridhoka wal-Jannah, wa naudzubika min syakhotika wan-naar.

(Ya Allah, kami memohon dari-Mu untuk mendapat keridhoan dan Syurga-Mu, dan kami berlindung kepadamu-Mu dari kemurkaan-Mu dan siksa Neraka).

Aamiin yaa Rabbal 'alamiin.




Share:

Rabu, 09 Oktober 2019

Ikigai: A Reason for Being


"It is a processes of cultivating one’s inner potential or that which makes one’s life significant".

The “reason for being” gives us a “reason to live.”


There are 5 Pillars:

1. Starting small; focusing on doing a certain thing (or part of a thing) very well.
2. Releasing yourself; accepting who you are, and allowing yourself to be open to your place.
3. Harmony & sustainability; recognizing that the permanence of anything includes getting along with and relying on others.
4. The joy of small things; appreciating the sensory pleasure of everything around you.
5. Being here and now; living in this moment now.

So, What we are waiting for?
let's starts!

Share:

Minggu, 08 September 2019

Memacu Investasi di Indonesia

Awal September 2019, Bank Dunia (The World Bank), mengeluarkan sebuah rilis yang berjudul: "Global Economic Risks, and Implications for Indonesia". Tak ayal, rilis ini langsung menghebohkan jagat dunia investasi di Indonesia yang memang sedang mengalami slowdown (perlambatan), dan potensi tekanan akan adanya resesi global.

Lalu, pertanyaan yang kemudian timbul adalah, apa penyebabnya?



Indonesia saat ini tengah menghadapi ancaman kondisi capital outflow, yakni posisi CAD (current account deficit), melambung hingga mendekati angka psikologis 3 persen dari jumlah PDB. Tentu, hal ini menjadi perhatian serius karena negara Indonesia sendiri di lain sisi juga sedang gencar-gencarnya menggenjot pembangunan di dalam negeri.

Kondisi demikian, juga diperparah dengan rendahnya capaian PMA (Penanaman Modal Asing) Indonesia yang hanya mencapai $22 miliar dari target akhir tahun yakni sebesar $33 miliar. Sedangkan untuk investasi Indonesia di luar negeri baru mencapai $5 miliar. Angka ini masih menjadi pekerjaan rumah yang berat bagi Indonesia untuk menutup defisit yang cukup lebar (diperkirakan total $16 miliar), serta menggenjot laju investasi dengan mendapat capital inflow yang ekstra.

Dalam perspektif makro, CAD (current account deficit) memang dapat menggambarkan kondisi perekonomian suatu negara yang memiliki stabilitas dari risiko monetersetidaknya dalam jangka pendekdengan catatan Penanaman Modal Asing mendominasi sektor riil yang dapat menghasilkan produk berdaya ekspor atau menghasilkan devisa bagi Indonesia.

Pertubuhan GDP yang masih mengalami fluktuasi menambah beban berat economic growth Indonesia dalam beberapa waktu mendatang (setidaknya sampai 2022). Data dari BPS, CEIC dan World Bank mengungkapkan bahwa pada tahun 2020, proyeksi potential output growth dari GDP Indonesia berada pada kisaran 4.9-4.6 persen. Menurun dari tahun 2018 di angka 5.2 persen dan proyeksi di akhir tahun 2019 sebesar 5 persen.

Pelemahan (slowdown) dalam pertumbuhan ekonomi Indonesia, sejatinya hanya salah satu dampak dari akumulasi global slowdown dan kekhawatiran akan terjadinya resesi global (diperkirakan tahun 2020). Hal ini tidak terlepas dari semakin memanasnya trade-war antara negara ekonomi besar seperti US-China, dan risiko geopolitik yang merambah sampai ke berbagai negara lainnya.

Data menjelaskan lebih lanjut bahwa risiko yang ditimbulkan adalah terjadinya krisis. Jika melihat kondisi saat ini, tentu bukan hal yang mengada-ada bahwa telah terjadi pelbagai gejolak yang mendorong kecemasan dalam perekonomian global, seperti: pemilu US, realisasi Brexit, demonstrasi menolak ekstradisi di Hongkong, krisis Argentina, Turki, Kashmir, tensi antara Jepang dan Korea, sanksi Iran dan shadow war dengan Israel, serta gejolak lainnya yang bisa saja muncul.

Solusi yang menjadi pilihan bagi Indonesia untuk dapat survive di tengah arus perekonomian global yang menghadapi ketidakpastian adalah dengan mendorong FDI (foreign direct investment), bukan dengan mengurangi current account deficit atau CAD yang berada di kisaran 3 persen. FDI diharapkan dapat menjadi stimulus dalam mendatangkan investasi-investasi baru di Indonesia.

Hal berikutnya yang menjadi catatan bagi Indonesia, adalah bagaimana upaya yang dilakukan Pemerintah untuk meyakinkan investor asing agar mau menanamkan modalnya di Indonesia. Tantangan yang dihadapi bukan lagi persoalan klise seperti isu politik, namun lebih kepada tataran teknis seperti persoalan perizinan, kemudahan bisnis, dan kepastian hukum. Ketiga hal tersebut masih menjadi pekerjaan rumah bagi Indonesia. Sebagaimana negara lain yang telah melakukan reformasi total dalam kebijakan ekonominya, Indonesia sampai saat ini jelas masih jauh tertinggal.

Indonesia menempati posisi cut-off dalam rantai nilai (suppy chain) produk manufaktur global. Sehingga, komoditas dan produk ekspor yang dihasilkan Indonesia, belum banyak membantu menyelamatkan perekonomian negara karena sewaktu-waktu dapat dikalahkan atau tergantikan oleh produk serupa dari negara lain. Hal ini tidak terlepas dari posisi Indonesia yang hanya mengisi rantai manufaktur globalsebagian besardengan komoditas (bukan teknologi).

Jika dilihat secara umum, komoditas yang diunggulkan oleh Indonesia yakni komoditas subsektor perkebunan, sebutlah kelapa sawit (sebagai biofuel), dan karet (sebagai komponen parts). Kemudian menyusul produk sektor pertambangan seperti nikel, besi, dan tembaga sebagai campuran bahan material. Pun demikian, harga sebagian besar komoditas tersebut terus tertekan oleh produsen di negara lainnya. Hal ini dikarenakan adanya perjanjian dagang yang disepakati oleh negara tertentu. Perjanjian ini dapat membuat bea dan tarif yang lebih murah serta mengikat antar negara yang bekerja sama. Sebagai contoh, negara yang telah berhasil membuat perjanjian dagang yang kompetitif antara lain: Vietnam, Thailand, Malaysia dan Singapura. Bila Indonesia tidak cermat dalam membuat perjanjian dagang semacam ini, maka tidak mengherankan bila komoditas ekspor Indonesia semakin terpuruk harga dan posisinya di pasaran global.

Untuk memacu investasi berkesinambungan di Indonesia, diperlukan serangkaian upaya konkret dan revolusioner. Investor tidak mau memasuki suatu negara yang tidak memiliki kepastian hukum dan pengurusan izin yang terlalu birokratis. Di Indonesia, pemerintah telah melakukan langkah inisiatif yakni menyederhanakan perizinan dengan kebijakan OSS (Online Single Submission). Akan tetapi pada praktiknya di lapangan masih banyak permasalahan yang perlu dibenahi.

Oleh karena itu, sebagai bangsa yang besar dan memiliki populasi terbesar ke-4 di dunia, Indonesia perlu untuk melakukan pembenahan secara total. Solusi yang perlu diperhatikan adalah mulai secara bertahap melakukan penguatan pada prinsip Ease of Doing Business (EoDB), diiringi dengan melepas ego-sektoral, yang secara simultan juga menyelaraskan langkah bersama antara pemangku kebijakan di tingkat pusat, daerah, maupun stakeholders terkait. Dengan didukung serangkaian program yang terukur seperti insentif dan perjanjian dagang yang dapat memacu laju investasi di Indonesia secara berkelanjutan. Maka, diharapkan investasi di Indonesia dapat melaju, serta menggerakkan sendi-sendi perekonomian negara menjadi lebih kuat dan lebih matang dalam menghadapi tantangan perekonomian global.

_______
Sumber:

- The World Bank (2019). "Global economic risks and implications for Indonesia". Report on September, 2019: The World Bank IBRD-IDA.

Muhammad Yazid Ulwan,
Staff Riset di FP2SB/GAPKI-IPOA

Share:

Jumat, 19 Juli 2019

Memilih dan Memilah Jalan



Pada dasarnya, kita selalu memilih jalan yang kita sukai. Jalan yang dapat mengantarkan kita untuk mencapai tujuan dengan cara yang paling mudah.

Akan tetapi, pada faktanya hal tersebut sulit untuk ditemukan. Dalam perjalanan, selalu ada saja onak dan duri tak terelakkan. Akan selalu ada bebatuan yang menyandung, mengiringi perjalanan panjang.

Jika perjalanan ini diibaratkan mendaki sebuah gunung, maka akan berbeda antara yang mendaki gunung melalui jalan terjal dengan Ia yang menikmati jalan landai nan ringan. Sang pendaki ulung dapat menikmati indahnya berbagai sajian alam, sebutlah air terjun, sungai dan telaga; sementara sang pendaki yang memilih kenyamanan hanya mendapati puncak tanpa keindahan. Meskipun tujuannya sama: menggapai puncak tertinggi.

Begitu pula kehidupan. Ada kalanya seseorang dihadapkan dengan berbagai pilihan yang berat dan menyesakkan. Namun, bukan tanpa arti jalan itu diberikan ke kita. Apa yang kita pilih, itulah yang menjadi cerminan kita. Maka, seorang yang arif nan bijak berusaha untuk tidak tergesa-gesa dalam menentukan.

Bercerita tentang pilihan, mungkin agak sulit bagi diri ini untuk bisa mengungkapkan. Sebuah keinginan, kegundahan, sekaligus kebulatan tekad untuk berbenah. Bukan, bukan perkara remeh-temeh. Tapi sebuah jalan yang bisa menentukan mana haq dan bathil.

Setali tiga uang. Di samping jalan yang sulit, ditemukan keindahan. Dibalik keindahan, ada mereka yang membersamai dalam menikmati indahnya jalan yang dipilih.

Maka, tidaklah sekali-kali diri ini menilai jalan dan pilihan orang lain, kecuali kebaikannya. Begitu pula tidak menutupi, kecuali aib yang ada padanya.


Alhamdulillaahil ladzii bini’matihi tatimmush-saalihaat.

Share:

Kamis, 28 Februari 2019

Pale Blue Dot



Look again at that dot. 
That's here.
That's home.
That's us.

On it 
everyone you love, 
everyone you know, 
everyone you ever heard of, 
every human being who ever was, 
lived out their lives. 

The aggregate of our joy and suffering.

- Carl Sagan
_____________


Share:

Senin, 14 Januari 2019

Agama dan Realitas Sosial 1: Kebebasan Memilih

Menurut Al-Qur'an, manusia memiliki dua tabiat (nature), yakni berupa sifat-sifat baik dan terpuji, maupun sifat-sifat buruk dan tercela.

Sifat baik dan terpuji dapat dilihat dalam Al-Qur'an, antara lain manusia itu ditahbiskan sebagai "khalifah", punya leadership, bertauhid, indah, senang petunjuk, dan lain sebagainya. Adapun sifat buruk dan tercela antara lain; manusia itu zalim dan bodoh, ingkar nikmat, tergesa-gesa, kikir, suka mengelak atau membantah, berkeluh-kesah, dan semacamnya.

Namun, Islam mampu menjawab hal-hal tersebut dan mendudukkan secara objektif posisi seseorang di antara keduanya. Manusia patut mendapat pujian atau sebaliknya mendapat celaan. Hal tersebut bukan semata-mata karena manusia memiliki dualitas tabiat, melainkan bergantung pada tendensi mana yang Ia sering kerjakan. Manusia diberikan pilihan, bebas sesuai dengn martabatnya selaku khalifatul fil 'ard, untuk mengembangkan kecenderungan yang baik dan karenanya mendapat pujian--atau mengembangkan yang buruk, karenanya mendapat celaan.

Semua pilihan-pilihan itu mendatangkan risiko yang mempengaruhi kedudukan dan martabat seorang manusia. Al-Qur'an mengingatkan kita semua bahwa martabat manusia akan "meluncur" jatuh ke bawah (asfala safiliin), apabila kondisi rohani (ruhiyyah) tidak dikembangkan menjadi iman dan tidak pula dilakukan menjadi amal saleh (At-Tin 95:4-5). Bahkan, manusia diumpamakan sejahat-jahat makhluk yang melata di muka bumi, apabila mereka tidak mau beriman (Q.S Al-Anfal 8:55). 

Tentu kita sedang tidak membicarakan persoalan iman secara scientific, yang memerlukan akal dan logika manusia--yang amatlah terbatas. Namun, iman itu sendiri jauh melampaui dimensi-dimensi sains yang manusia ciptakan. 


"Into Universe" by The Cosmic Diverse

Stephen Hawking, seorang ilmuwan, astrophysicist dan kosmolog penemu teori Big-bang serta gravitasi kuantum, boleh saja mengatakan bahwa Ia tidak percaya terhadap penciptaan oleh tangan-tangan tak telihat (God creation) layaknya kita yang mengimani adanya Allah sebagai pencipta alam raya.

Tetapi, Hawking turut memberikan interpretasinya mengenai makna dari alam raya itu sendiri, yang memiliki makna Ketuhanan semesta; “Remember to look up at the stars and not down at your feet. Try to make sense of what you see and wonder about what makes the universe exist". 

Dalam konteks yang sedikit berbeda, Rene Descartes, filsuf kenamaan abad ke-17 pernah berkata dalam adagiumnya yang terkenal: "cogito ergo sum" (aku berpikir, maka aku ada). Sepintas, tidak ada yang salah dengan perkataan Descartes bagi orang yang realis, mempertanyakan keberadaan sekitar, dan mengakui keberadaan diri sendiri dengan alam fikir. Namun, bagi orang yang mengaku beriman, justru adagium itu bisa berlaku sebaliknya; "Aku ada, maka aku berpikir". Bukankah begitu?

Berbicara mengenai martabat manusia, dalam Al-Qur'an kembali dijelaskan bahwa Ia akan naik dari satu tingkat ke tingkat yang lebih tinggi apabila dikembangkan sesuai petunjuk-Nya (Q.S Al-Insyiqaq 84:19). Kemampuan rohani manusia tersebut berkembang dan bergerak linear tidak ada batasnya sehingga dikatakan manusia "lebih muliadibandingkan malaikat. Wallahu 'alam.

Dalam hal ini, seluruh bentuk kewajiban ibadah seperti; shalat, puasa, haji, adalah contoh dari riyadhah-ruhiyyah (olah rohani), yakni untuk menunjukkan pengalaman kejiwaan yang orisinil dan otentik tentang nikmatnya mengikuti petunjuk kebenaran hudan (bagi mereka yang mengimani). Secara langsung, pengalaman otentik kerohanian yang dirasakan itu akan semakin memperteguh sikap, harapan, dan cita-cita terhadap makna hidup dan realitas alam semesta, begitu pula dengan realitas sosial yang sudah barang tentu menjadi bagian di dalamnya.

Sampai pada tingkatan ini, dorongan sifat buruk dapat diyakinkan untuk "tidur", jangan sampai berkembang. Sementara, potensi sifat-sifat yang baik dilanjutkan untuk menjadi nyata, muthmainnah, yang membenarkan Allah dan tenang bersama-Nya.

Imam Al-Ghazali, menandai tingkat perjuangan seperti demikian, sebagai apa yang dikatakan "perjuangan melawan nafsu" (jihadun linafsihi). Mereka yang mampu mengendalikan nafsunya ke tingkatan muthmainnah, itulah yang akan menikmati keutuhan martabat, sehingga Allah memanggil dengan panggilan kecintaan; "Hai nafsu yang tenang, kembalilah kepada Tuhan mu dengan hati yang puas lagi diridhai-Nya. Masuklah ke dalam golongan hamba-hamba Ku, dan masuklah ke dalam Surga-Ku" (Q.S Al-Fajr 89:27-30). []

Nantikan kelanjutan part ini pada postingan berikutnya!
__________________________________
Sumber referensi:

**Al-Qur'an karim

[1]. Fatwa, A.M. (1996). "Kebebasan Memilih". Jakarta: Republika.
[2]. Fatwa A.M. (2001). "Demokrasi Teistis: Upaya Merangkai Integrasi Politik dan Agama di Indonesia". Gramedia Pustaka Utama: Jakarta.
[3]. Hawking, S., & Hawking, S. (1992). Stephen Hawking's A brief history of time: A reader's companion. New York: Bantam Books.
[4]. Høffding, Harald. (1916). "A Brief History of Modern Philosophy". Second Book, The Great Systems. USA.
Share:
ASSALAMU'ALAIKUM.. SELAMAT DATANG DI BLOG SAYA. AMBIL MANFAAT, BUANG YANG KURANG BERKENAN :)

Hit and Visitors

@yazid.ulwan / 2022. Diberdayakan oleh Blogger.

Kita dan Bangsa!

Kita dan Bangsa!
cintailah negerimu, bagaimanapun kesenanganmu dengan budaya di negeri sana, pastikan darah juang selalu lekat dihatimu

Labels and Tags

Labels

Catatan Pinggir

Menulis dalam sebuah wadah yang baik demi kebermanfaatan, ialah suatu 'kewajiban' bagi saya meski sepatah-dua patah kata saja. --Jejak--